Sumber Hukum Islam


Mengenai  sumber hukum islam terdapat beberapa perbedaan pendapat ada yang mengatakan 2 saja, ada yang mengatakan 4 dan ada juga yang mengatakan lebih dari sepuluh. Sumber-sumber hukum tersebut jika disebutkan semua baik yang disepakati atau tidak, ialah : al-Qur’an, hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan, maslahat-mursalah, Urf, Pendapat Sahabat, istishab, Saddud-dzarai’I, Syara’  ummat sebelum kita.
Namun Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA. Dalam bukunya mengatakan bahwa sumber hukum islam hanya berlaku pada al-Qur’an dan hadits, karena hanya dari keduanyalah digali norma-norma hukum. sedangkan yang lainnya tidak termasuk kategori sumber hukum akan tetapi merupakan alat dalam menggali hukum-hukum dari al-Qur’an dan Sunnah.

1.      al- Qur’an Sebagai Sumber Hukum
hukum syara’ adalah kehendak Allah, karena Dia-lah yang mengatur, membaurkan, dan mensistemasiskan hukum tersebur bagi manusia. Hukum Tuhan disampaikan kepada hambanya, kitab kumpulan hukum Allah disebut dengan Al-Qur’an. Al-Quran merupakan sumber utama, pertamadan sumber pokok bagi ummat muslim. Al-Qur’an juga sebagai dalil-dalil pkok hukum islam.
Seluruh ayat al-Qur’an dari segi lafads dan maknanya adalah qath’iyah-wurud, merupak semua lafads al-Qur;an dating dari Allah tanpa diragukan lagi keasliannya. Dengan demikian semua lafadz dan makna al-Qur;an adlah mutawatir. Sedangkan dari segi dalalah hukumnya sebagian qath’iyal-dalalah dan sebagian lagi zhanniy al-dalalah. Qath’iyal-dalalah berarti ketentuan hukumnya tidak membutuhkan penafsiran lagi. Sedangkan ketentuan hukum yang zhanniy al-dalalah adalah mengandung dan menampung berbagai penafsiran.
a.       Penunjukan al-quran tentang hukum
Al-qur’an dari segi penjelasanya ada dua model yaitu : Muhkam (jelas) dan Mutasyabih (samar) (Qs. 3:7). Ayat-ayat Muhkam adalah ayat- ayat yang jelas maksudnya dan tidak mengandung keraguan, serta tidak mengandung pemahaman lain selain pemahamna yang terdapat dalam lafadz ayat Al- qur’an tersebut. Sedangkan ayat-ayat Matsyabih adalah ayat yang tidak jelas artinya, sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai penafsiran dan pemahaman.
Ayat Al-qur’an yang muhkam penjelasanya sempurna, penunjukannya jelas (qath’iy al-dalalah). Tidak bias difahami dengan pemahaman lain dan tidak dapat ditafsirkan dengan pendapat yang berbeda-beda . hukum tersebut bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, dan ditempat manapun.
Ayat mhukam ini berlaku dlam bidang ibadaj, ‘aqidah dan norma-norma baik buruk, seperti tentang ke-Esaan Allah, Sholat, dan berbakti berbakti kepada orang tua.
Ayat al-Qur’an yang coraknya Mutasyabih bermodel Ibaratt dan Isyarat, serta diungkapkan dalam bentuk garis besar, penjelasan hukumnya bersifat Zhanny. Dengan kata lain, ayat-ayat tersebut penunjukan penjelasannya tidak jelas dan tidak meyakinkan, sehinnga dapat dipahami dengan berbagai macam pemahaman, serta dapat ditafsirkan dari berbagai macam segi. Akhirnya munculah berbagai versi hukum yang berbeda-beda.
b.      Ibarat al-Qur’an dalam menetapkan hukum
Ibarat al-Qur’an dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa model,
1. Suruhan. Al-Qur’an menetapakn hukum berupa suruhan untuk melaksanakan sesuatu atau suruhan untuk meningglakan sesuatu. Suruhan berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Seperti perintah sholat, Allah SWT Berfirman :

Artinya : dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat
Contohnya adalah larangan membunuh anak dan menikahi muhrim. Allah SWT berfirman :

Artinya : janganlah kamu membunuh diri yang diharamkan Allah, kecuali dengan haq (al an’am : 151)
Diharamkan atas kamu ibumu, anak perempunmu, saudara-saudaramu….(an-nisa : 23)
2.      Janji baik dan buruk, pahala dan dosa serta pujian dan celaan. Contonya firman Allah:

Artinya: siapa yang taat Allah dan Rasul ia akan dimasukkan-Nya dalam surga. (An-Nisa’ 13).

Sedangkan contoh tentang larangannya Allah berfirman:

Artinya: pencuri laki-laki dan pencuri perenpuan, potonglah tangan keduanya. (Al-maidah:38)

3.      Ibarat, istri yang ditala’ harus menjalankan masa Iddah merupakan misak penetapkan hukum secara ibarat.

Allah berfirman :
Artinya: istri yang ditalak, menunggu dalam masa Quru’. (Al-baqara:228)

Secara garis besar hukum dalam Al-qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.      Hukum aqidah, yaitu hukum yang mengatur rohaniah manusia dengan Allah dalam msalah keimanan dan ketakwaan .
2.      Hukum akhlak, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan manusia dan mahluk lainnya, bermasyarakat dan bernegara. Hal ini tercakup dalam hukum khuluqiyah adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang merupakan tonggak menuju akhlak sesama makhluk.
3.      Hukum syari’ah, yaitu hukum yang mengatur hubungan hidup lahiriyah antara manusia dengan makhluk lain, dengan Tuhan-nya selain yang bersifat rohani dan dengan alam sekitarnya.



Kedudukan Sunnah

Menurut jumhur ulama as-sunnah menempatkan urutan kedua setelah Al-qur’an. Diantaranya para ulama yang berpendapat demikian adalah al-syatibi dan al-Qasimi yang memberikan argumentasi sebagai berikut:
1.      Bahwa al-Qur’an bersifat Qath’I al-wurut, sedangkan As-sunnah bersifat Zhanny al-wurud. Karena itu yang Qath’I harus didahulukan dari yang dzanny.
2.      Sunnah berfungsi sebagai penjabar dari Al- qur’an. Hal ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan lebih rendah dari yang dijelaskan. Jika tidak ada yang dijelaskan maka tidak perlu ada penjelasan, sebaliknya jika tidak ada penjelasan maka yang dijelaskan tidak mesti hilang dengan sendirinya.
3.      Ada beberapa hadis yang menjelaskan urutan dan kedudukan sunnah setelah Al-qur’an diantaranya :

Yang artinya: Rasullah bersabda kepada Muadz bin jabal: bagaimana anda memutuskan suatu hukum apabila anda dihadapkan pada suatu perkara? Kemudian Muadz berkata: saya akan berpedoman kepada kitab Allah atau Al-qur’an. Rasulullah bersabda: bagaimana kalau anda tidak menemukan didalam Al-qur;an. Muadz berkata: saya akan berpedoman kepada Sunnah Rasul. Nabi bersabda: bagaimana anda kalau tidak menemukannya ? Muadz berkata: saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya.

Diriwayatkan dari Mas’ud : barang siapa yang dihadapkan kepadanya suatu perkara hukum, maka hendaknya dia memutuskan hukum itu dengan berdasarkan dengan Al-qur’an. Kalau perkara itu tidak didapatkan dalam Al-qur’an, tetapi ada didalam hadis rasul, maka hendaknya memutuskan hukum berdasarkan hadis nabi itu.

Berbeda dengan pendapat diatas, ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa as-sunnah mempunyai kedudukan yang lebih penting dari al-qur’an. Argumentasi yang diginakan adalah sebagai berikut:

a.       Bahwa al-qur’an yang bersifat mujmal (umum) itu memerlukan penjelasan dari as-sunnah, sehingga “kata akhir” berada pada as-sunnah bukan pada Al-qur’an. Misalnya, ayat Al-qur’an mengenai hukuman bagi pencuri menentukan hukuman potong tangan bagi setiap pencuri, siapapun dan dalam kondisi bagaimanapun. Tetapi As-sunnah menjabarkan lebih lanjut, bahwa pencuri yang harus dipotong tangannya itu apabila ia mencuri milik orang lain dengan jumlah tertentu (nisab). Kurang dari itu tidak dikenakan hukuman potong tangan.
b.      Ada beberapa dalam ayat Al-qur’an yang mempunyai makna ganda (muhtamil). Dalam hal ini As-sunnah memberikan alternatifnya.

Tentu kelompok pertama tidak menerima pendapat yang kedua karena mereka mencoba memberikan jawaban terhadap argumentasi yang dikemukakan kelompok yang kedua. Menurut mereka penentuan sunnah terhadap al qur’an tidak harus diartikan bahwa sunnah lebih dulu urutannya daripada al qur’an. Penjabaran sunnah terhadap al qur’an harus diartikan bahwa apa yang diungkapkan dalam sunnah tidak lain kecuali mengungkapkan apa yang dikehendaki al qur’an. Jadi menurut mereka kedudukan sunnah tidak lebih dari penjelas al qur’an.

Fungsi al Sunnah terhadap al Qur’an

Ulama’ ushul mengelompokkan fungsi sunnah menjadi tiga kelompok:
1.      Al Sunnah yang berfungsi memperkuat apa yang ditetapkan oleh al Qur’an, tidak menjelaskan apa lagi menambah ketetapan al qur’an. Contoh hadits :



Islam didirikan atas lima perkara: Syahadat (kesaksian) bahwa tida tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah rosul Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukan.
2.      Al sunnah untuk memperjelas atau merinci yang telah digariskan dalam al qur’an. Ini merupakan fungsi yang paling dominan, misalnya hadits-hadits yang berhubungan dengan tata cara sholat, zakat, puasa dan haji. Praktek Rosulullah merupakan penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat qu’an yang bersifat umum.
3.      Al sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ada dalam al qur’an. Misalnya hadits yang melarang seorang suami memasu isterinya dengan bibi dari pihak ibu atau pihak bapak si isteri. Ketentuan ini tidak ada dalam al qur’an. Al qur’an hanya melarang suami memadu isterinya dengan saudara kandung isteri. Contoh surat an Nisa’ ayat 23.

Dari tiga fungsi tersebut bahwa fungsi pertama dan kedua dapat diterima oleh kalangan para ulama. Perbedaan hanya mengenai fungsi ketiga yaitu menetapkan hukum yang belum diatur dalam al-qur’an. Dalam hal ini persoalan pokok yang dibicarakan mereka adalah apakah sunnah dapat menetapkan hukum secara mandiri tanpa tergantung al-qur’an.
Mengenai keterangan diatas syafi’I mencoba membagi pendapat para ulama kepada empat kelompok. Pendapat tersebut dirampung menjadi dua pendapat. Yaitu kelompok ulama yang menerima fungsi menetapkan hukum yang mandiri dan kelompok lain yang tidak menerimanya.  
Kelompok pertama menyatakan bahwa ketetapan itu berdiri sendiri, tidak terdpat didalam al-qur’an. Sedang kelompok kedua berpendapat bahwa ketetapan itu tidak bias dilepaskan dari konteks ayat al-qur’an. Dengan demikian perbedaan pendapat itu hanya berkisar pada redaksi saja. Ada beberapa teori mengapa as-sunnah menjabarkan apa yang ada didalam al-qur’an:
a.       Al-qur’an menunjukkan wajibnya beramal dengan As-sunnah. Segsls kergiatan yang berdasarkan As-sunnah berarti mengikuti al-qur’an. Teori ini berlandaskan atas atsar berikut:


Diriwayatkan bahwa thawus melakukan shalat dua raka’at setelah shalat asar. Maka ibnu Abbas berkata kepadanya : tinggalkanlah shalat dua raka’at setelah asar. Maka thawus berkata sesungguhnya pelarangan atasnya adalah supaya tidak dijadikan sunnah. Ibnu Abbas kemudian berkata sesungguhnya Rasulullah telah melarang shalat setelah shalat asar. Aku tidak tau apakah orang yang melakukan shalat setelah shalat asar itu diazab atau diberi pahala. Karena Allah berfirman tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu ketetapan aka nada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
b.      Al-qur’an bersifat global dan hadis merincinya. Perincian itu terutama berhubungan dengan cara-cara melakukan ibadah, seperti shalat dan haji.
c.       Bahwa dalam Al-qur’an terkandung tujuan umu yang disyari’atkannaya hukum dan al-sunnah menetapkan hukumberdasarkan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Al-qur’an.
d.      Alqur’an terdapat dua hkum yang berlawanan dan ada pula diantara kedua hukum itu, maka sunnah dating menujukkan salah satu hukum itu atau menetapkan hukum lain yang sesuai kewcendrungan hukum yang ditetapkan al-qur’an.

Pengelompokan kegiatan Rasul
Sebagi mana telah dijelaskan diatas, al qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau bertugas menyampaikan wahyu itu kepada ummat manusia berikut penjelasan dan penjabarannya. Untuk tugas itulah beliau disebut Rasulullah, namun demikian, Muhammad dicatat dalam sejarah sebagai kepala pemrintahan dan sekaligus sebagai Qadhi (hakim). Jadi, pada diri Muhammad terdapat multi fungsi. Beliau sebagi pemegang kekuasaan legelatif, ekskutif, dan yudikatif. Dapatkan fungsi-fungsi itu dipisahakan satu sama lain? Kalau dapat, apakah pengaruh dan akibatnya terhadap umat islam?
Untuk menjawab persoalan diatas menarik untuk dikaji, pernyataan al-Qarafi dan syeh Muhammad syaltut tentang Tasharrufa al-rasul (tindakan dan kegiatan Rasul). Menurut mereka, tindakan atau kegiatan Muhammad dapat dibedakan menjadi beberapa kategori : Muhammad sebagi Rasul, Muhammad sebagai Rasul, Muhammad sebagi kepala Negara (imam), Muhammad sebagai khodi dan Muhammad sebagai manusia biasa. Pengelompokan ini merinci kegiatan Rasulullah dalam mewujud Sunnah-nya, bukan dalam wujud al quran yang diwahyukan kepadanya.
Dalam hal ini rasul berfungsi untuk menyampaikan pesan Allah dengan cara menjelaskan apa yang terkandung dalam Al-qur’an. Imam dalam hal ini berfungsi sebagai kepala Negara atau pemerintahan yang berhubungan dengan kebijaksanaan umum. Muhammad sebagai hakim untuk menyelesaikan segala perkara yang diajukan kepadanya. Muhammad sebagai manusia biasa yaitu sebagai ghair  tasyri’iyyah yang artinya segala sesuatu yang dilakukan Muhammad adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan dan minum.
Dan demikian, pengelompokkan yang begitu baik yang perlu mendapatkan perhatian. Dalam hal ini apa yang dikemukakan pemikir islam terdahulu diharapkan memudahkan kita dalm menghadapi persoalan kontemporer.