Filsafat Hukum Islam


BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat hukum lebih mengulas tentang tujuan atau akhir hukum dan keadilan dianggap sebagai tujuan tertinggi. Karena keadilan mutlak yang harus dituntut  untuk usaha-usaha filsafat hukum dahulu maupun sekarang. [1]Hukum islam atau syari’ah dalam teori klasik adalah perintahTuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Hukum islam merupakan sistem ketuhanan yang mendahului Negara islam dan tidak didahului olehnya, mengontrol masyarakt dan tidak dikontrol olehya[2].
Perlu diingat bahwa filsafat hukum islam (syari’ah) adalah pola yang lengkap dan yang mencakup semua perintah sosial yang jangkauannya tidak hanya mencakup dunia saja, tetapi akhirat pun juga iya. Syari’ah membahas semua aspek kehidupan dan memberikan arah bagi kehidupan. Jadi, ini merupakan kesatuan organik yang masing-masing bagiannya tidak dapat dipisahkan. 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
Filsafat hukum islam terkandung dalam arti hikmah, falsafah asrar bahkan illat hukum. Walaupun tidak sempurna tapi semua itu saling terkait, apalagi dihubungkan dengan tinjauan kajian-kajian filasafat saat ini[3]. Pengertian hukum islam sendiri dalam khasanah literatur intelektual muslim, terutama yang dipahami masyarakat muslim tidak jarang memiliki perbedaan antara pengertian syari’ah dan fiqh[4].
Untuk membantu pemahaman beberapa aspek yang tercakup dalam pengertian hukum, dapat dibedakan dalam lima unsure dan karakternya[5] :
1.      Peraturan tentang tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.      Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.      Peraturan yang bersifat memaksa.
4.      Sangsi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
5.      Ada proses dan lembaga yang melakukan bagaimana hukum bekerja.
Tujuan dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim (maha pengasih dan maha penyayang) Allah kepada semua makhluk-Nya. Rahmatan lil la-lamin adalah inti syari’ah atau hukum islam. Dengan adanya syari’ah tersebut dapat ditegakan perdamaiaan dimuka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang. keadilan sangat mulia dimata kholik, dan sifat adil merupakan jalan takwa setelah iman kepada Allah.
Untuk biasa menegakan itu semua, hukum islam harus siap menghadapi kejadian baru yang timbul karena perkembangan masyarakat dan perubahan suasana. Untuk itu pengkajian ilmu filsafat hukum islam mutlak diperlukan. Dengan tegak dan berhasilnya filsafat hukum islam, dapat dibuktikan bahwa hukum islam mampu memberikan jawaban terhadap tangtangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaiti Falsafah Tasyri dan Falsyafah Syariah.
-          Falsafah tasyri: Fasafah yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan hakikat dan tujuan hukum islam.[6] Filsafat tasyri terbagi kepada :
a.       Da’aim al- Ahkam (Dasar-Dasar Hukum Islam)
b.      Mabadi al-Ahkam (Prinsip-Prinsip Hukum Islam)
c.       Ushul al-Ahkam (Pokok-Pokok Hukum Islam) atau mashadir al-ahkam (Sumber-Sumber Hukum Islam)
d.      Maqasid al-Ahkam (Tujuan Tujuan Hukum Islam)
e.       Qowa’id al-Ahkam (Kaidah-Kaidah Hukum Islam)
-          Falsafat syari’ah: Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat Syari’ah adalah:
a.       Asrar al-Ahkam (Rahasia-Rahasia Hukum Islam)
b.      Khasha al- Ahkam (Ciri-Ciri Khas Hukum Islam)
c.       Mahasin al-Ahkam atau Majaya al-Ahkam (Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam)
d.      Thawabi al-Ahkam (Karakteristik Hukum Islam)
B.     FILSAFAT HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH
Dalam Al-Qur’an maupun dalam as-sunnah, tidak terdapat kata filsafat, tidak berarti bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah tidak mengenal apa yang dimaksud dengan falsafah itu. Dalam kedua sumber itu dikenal kata lain yang sama maksudnya dengan itu yaitu kata hikmah.[7]
H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. dalam bukunya Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, menjelaskan bahwa, pemikiran terhadap Hukum Islam telah lahir sejak awal sejarah umat Islam, disebabkan oleh adanya dorongan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul agar manusia menggunakan pikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih-lebih dalam persoalan yang fundamental, menyangkut akidah atau keyakinan agama. Misalnya Q.S. Al-Isra (17) : 36 : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Demikian pula Q.S. An-Nisa (4) : 82 mengajarkan : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Ayat Al-Qur’an tersebut dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak Al-Qur’an dapat diyakinkan. Selanjutnya Azhar Basyir menjelaskan bahwa, ayat-ayat Al-Qur’an yang langsung menyangkut ketentuan hukum banyak yang diakhiri dengan menggugah pikiran untuk memahaminya. Misalnya Q.S. Al-Baqarah (2) : 179 : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Ayat ini menyebutkan hikmah adanya ancaman pidana qishash (pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, di sini adalah pidana mati dalam pembunuhan sengaja), yaitu menjamin kelangsungan hidup manusia dengan sengaja, orang tidak merasa ringan melakukan pembunuhan terhadap orang lain akan dijatuhi hukuman pidana juga, karena merasa takut dijatuhi hukuman pidana mati juga.
Hal ini berarti suatu jaminan bagi kelangsungan hidup manusia. Hikmah demikian itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mau memikirkannya. Menyebutkan ketentuan pidana qishash disertai dengan seruan “hai orang-orang yang berakal” itu tidak dapat diartikan lain kecuali agar benar-benar orang dapat menyadari ketepatan dan kebenaran ancaman pidana qishash tersebut, setelah memikirkannya dengan mendalam dengan mendalam. Pemikiran terhadap keketntuan-ketentuan Hukum Pidana Islam akan melahirkan Filsafat Hukum Pidana Islam.
Al-Qur’an Surat Ar-Rum (30) : 21 mengajarkan : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam ayat tersebut ditegaskan adanya hikmah disyari’atkannya perkawinan yang antara lain untuk mewujudkan ketentraman hidup dan menjalin rasa saling mencintai dan menyayangi antara suami isteri, kemudian diakhiri dengan penegasan bahwa hanya kaum yang berfikirlah yang akan menangkap makna yang terkandung dalam syari’at perkawinan itu. Pemikiran yang mendalam terhadap syari`at perkawinan dalam Islam dapat menimbulkan Filsafat Hukum Perkawinan Islam yang merupakan bagian dari Filsafat Sosial Islam.
Hadits Riwayat Al-Baghawi berasal dari Mu’adz bin Jabal menceritakan bahwa pada waktu Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman, terlebih dulu beliau bertanya kepada Mu’adz: “Bagaimana kamu akan memutus perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’adz menjawab: “Saya akan memutus dengan dasar Kitab Allah (Al-Qur’an)”. Rasul bertanya pula: “Jika dalam Kitab Allah tidak kau jumpai ketentuannya bagaimana?” Mu’adz menjawab:”Saya akan berijtihad dengan akalku, dan saya tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan apapun”. Mendengar jawaban Mu’adz itu Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata: “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul Allah sesuai dengan yang melegakan hati Rasul Allah.
Dalam hadits tersebut dinyatakan adanya sumber-sumber utuma Hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Mengenai hal-hal yang tidak disebutkan ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul, akal memperoleh kesempatan untuk menemukan ketentuan-ketentuan hukumnya dengan jalan Ijtihad. Berijtihad dengan menggunakan akal inilah apada hakikatnya merupakan pemikiran kefilsafatan Hukum Islam. Meskipun belum diperoleh data ijtihad Mu’adz dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya di Yaman, namun izin Rasulullah kepadanya untuk berijtihad itu telah merupakan saat-saat awal kelahiran Filsafat Hukum Islam pada masa Rasulullah masih hidup. Jika pada masa Rasulullah ijtihad belum benar-benar nampak dengan jelas, maka hal itu dapt dimengerti, oleh karena pada masa itu wahyu masih belum selesai dan kedudukan Rasulullah sebagai Rasul yang memperoleh kewenangan menentukan hukum-hukum masih merupakan tempat kembalinya kaum muslimin untuk memperoleh ketentuan hukum mengenai hal-hal yang tengah terjadi dalam kehidupan mereka.
Musthafa Abdurraziq dalam kitabnya Tahmid Li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah memandang penggunaan ijtihad dalam hukum Islam itu sebagai manifestasi pemikiran kefilsafatan dalam Islam. Dan oleh karena ijtihad dalam hukum Islam itu telah dilakukan segera setelah Nabi wafat, lebih-lebih pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, yang sumbernya adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul, maka Filsafat Hukum Islam merupakan yang pertama kali muncul dalam sejarah alam fikiran Islam, dan merupakan pemikiran yang orisinil Islami.[8]
Dengan demikian Filsafat Hukum Islam merupakan anak sulung Filsafat Islam, baru kemudian disusul dengan Ilmu Kalam, diikuti oleh lahirnya pemikiran kefilsafatan yang berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan hasil-hasil pemikiran para filosuf Yunani, dan Tasawuf Islam yang berbaur dengan berbagai macam unsur: India, Parsi, Cina dan Yunani.
Lebih lanjut Azhar Basyir mengatakan bahwa satu hal lagi yang perlu disebutkan ialah meskipun dalam hadits Mu’adz tentang sumber-sumber Hukum Islam dinyatakan bahwa ijtihad dilakukan dalam hal-hal yang tidak tercantum Al-Qur’an atau Sunah Rasul, namun dalam sejarahnya, para sahabat Nabi melakukan ijtihad juga dalam hal-hal yang nyata-nyata disebutkan ketentuan hukumnya dalam nash. Ijtihad dalam hal yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau Sunah Rasul itu dapat menyangkut pemahamannya, dapat menyangkut penerapannya dan sebagainya.
C.    PERTUMBUHAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
Sumber utama hukum islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Terhadap segala permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berjihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum. Dalil yang menjadi landasan berjihad adalah hadist Nabi Saw. Ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal sebagai berikut:
عَنْ انََسٍ مِنْ اَهْلِ حِمْصِ مِنْ أَ صْحَابِ مُعَاذَ بْنِ جَبَلٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لَمَّا اَرَادَ اَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ : اَقْضِي بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَم ْتجَِدْ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدْ رَأْيِيْ وَلاَ الُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلِ اللِه صَدْرَهُ وَ قَالَ : اْلحَمْدِللهِ اْلذِي وَفْقَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلِ اللهِ.
Artinya : “Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Homs, shahabat Mu’az Ibn Jabal, bahwa Rasulullah Saw. ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, “apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya?” Mu’adz menjawab, “saya akan memutuskannya berdasarkan al-quran.” Nabi menjawab lagi, “jika kasus tidak anda temukan dalam al-quran” muadaz menjawab, “saya akan memutuskannya berdasarkan sunnah Rasulullah”. Lebih lanjut Nabi bertanya, “jika kasus tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab , “aku akan berijtihad seksama.” Kemudian Rasulullh menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan tangannya, seraya berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulllah kepda jalan yang diridhai-Nya.” ( HR.Abu Dawud ).[9]
Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan. Allah berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Artinya : “Dan dalam qishsah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” ( QS. Al- Baqarah : 179 )
Ayat diatas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran termasuk yang dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syari’ah atau hukum islam melahirkan filsafat hukum islam.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal lahirnya filsafat hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu. Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera dibetulkan dengan datangnya wahyu. Akan tetapi, ketika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.
Permasalahan yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa yang memegang tapuk kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya itu memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria apa yang diambil untuk menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya berupa jasa, yaitu jasa kaum Anshor yang menerima Muhammad beserta rombongannya dan menyelamatkan agama dari tekanan kaum kafir di mekkah, ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan harta kekeyaan demi menyelamatkan agama Islam.
Pemikiran yang mendalam tentang kreteria pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi. Sedangkan pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf dan lain-lain yang dilakukan umar berdasarkan kesesuaian zaman dan demi menegakan keadilan yang menjadi asas hukum Islam, merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan akal manusia.
Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahtraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu pengertian dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip hukum tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan keperluan hidup. Singkatnya penerapan hukum harus dapat menegakan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum Islam.[10]

D.    PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKU ISLAM
Kegiatan penelitian terhadap penelutian hukum (Maqasid al-Sya’riah) telah dilakukan oleh para ahli Ushul fiqh terdahulu. al-Juwaini, dapat dikatakan ahli ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid sya’riah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam islam, sebelum ia dapat memahami bener tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqasid as-Sya’riah itu dalam kaitannya dengan pembahasan illat pada masalah qias. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl dalam dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok Daruriyyat, al-Hajat al-Amanat, Makramat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya al-juwaini mengelompokkan ashl atau tujuan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyyat dan makramat. Yang terakhir, dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat.
Kerangka berpikir al-juwaini di atas di kembangkan oleh muridnya al-ghazali. Dalam kitabnya Syifa al-Ghali, al-Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat dalam qiyas, sementara dalam kitabnya yang lain ia memebicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Mashlahat, baginya adalah memelihara maksud al-Syari, pembuat hukum. Kemudian ia memerinci Maslhahat itu menjadi lima, yaitu: Memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Kelima aspek mashlahat ini menurut al-Ghazali, berada pada peringatan yang berbeda, bila ditinjau dari segi tujuannya, yaitu peringkat daruriyya, hajiat dan tahsiniyyat. Dari sini teori makhasid al-Syariah susah kelihatan bentuknya.
Ahli fiqh yang berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama Maqasid al- Syariah, adalah Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk Daru al-Mafasid wa jalwu al-Manafi (menghindari mafsadat dan menarikmanfaat). Baginya Mashlahat dunyawiyyat tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: daruriyyat, hijayyat, dan tatimmat atau takmillat.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun diakhirat. dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid al-Syariah. Dalam pandangan ahli fiqh lain dijelaskan tentang pembahasan mashlahat yang menjadi bagian sangat penting karena tujuan Allah mengsyariatkan hukumnya adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karena itu taklif dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan-tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat, yaitu: Daruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.[11]

E.     TOKOH FILSAFAT
Ibnu  Sina  merupakan  dokter  Islam  yang terulung. Sumbangannya dalam bidang pengobatan bukan saja diakui oleh dunia Islam tetapi juga oleh para sarjana Barat. Nama asli Ibnu Sina ialah Abu Ali al-Hussian Ibnu Abdullah. Tetapi di Barat, beliau lebih dikenali sebagai Avicenna.
Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masihi. Pelajaran peringkat awalnya bermula di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastera. Selain itu, beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logika, matematik, sains, fikih, dan pengobatan. Dia seorang filosof dan ahli dalam bidang kedokteran. Ibnu Sina mula menjadi terkenal selepas berjaya menyembuhkan penyakit Putera Nub Ibn  Nas  al-Samani  yang  gagal  diobati  oleh  dokter  yang  lain. 
Kehebatan  dan kepakaran dalam bidang pengobatan tiada tolok bandingnya sehingga beliau diberikan gelar al-Syeikh al-Rais. Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib telah diterbitkan di Rom pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas di universitas-universitas Itali dan Perancis. Di abad ke-19, bukunya masih dicetak ulang dan digunakan oleh para mahasiswa kedokteran.
Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The Heart  yang  mengandungi  sajak-sajak  pengobatan.  Dalam  buku  itu,  beliau  telah menceritakan  dan  menghuraikan  760  jenis  penyakit  bersama  dengan  cara  mengobatinya.  Hasil  tulisan  Ibnu  Sina  sebenarnya  tidak  terbatas  kepada  ilmu pengobatan saja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafisik, musik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap zenith yaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang digelutinya. Di samping menjadi zenith dalam bidang pengobatan, Ibnu Sina juga menduduki ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logika sehingga digelar guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastra kreatif.
Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah yang  membicarakan  persoalan  falsafah.  Pemikiran  falsafah  Ibnu  Sina  banyak dipengaruhi  oleh  aliran  falsafah  al-Farabi  yang  telah  menghidupkan  pemikiran Aristoteles. Oleh sebab itu, pandangan pengobatan Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori pengobatan Yunani khususnya Hippocrates. Pengobatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours iaitu darah, lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu hitam (black bile).
Menurut  teori  ini,  kesehatan  seseorang  mempunyai  hubungan  dengan  campuran keempat-empat unsur tersebut. Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar yang  seimbang  dan  apabila  keseimbangan  ini  terganggu  maka  seseorang akan mendapat penyakit.
Setiap  individu  dikatakan  mempunyai  formula  keseimbangan  yang  berlainan. Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah meletakkan satu landasan kokoh kepada  dunia  pengobatan  untuk  mengenal  pasti  puncak  penyakit  yang  menjangkiti manusia.  Ibnu  Sina  telah  menapis  teori-teori  kosmogoni  Yunani  ini  dan mengislamkannya. Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur iaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembab, sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini.  Ibnu  Sina  percaya  bahwa  terdapat pertahanan alami  dalam tubuh manusia  untuk  melawan  penyakit.  Jadi,  selain  keseimbangan  unsur-unsur  yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesehatan dan proses penyembuhan.
Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku AnNajah, Ibnu Sina telah menyatakan bahwa pencipta yang dinamakan sebagai “Wajib al-Wujud” ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak terbagi. Menurut Ibnu Sina, segala maujud (mumkin al-wujud) bersumber dari “Wajib al-Wujud” yang tidak memiliki permulaan. Pemikiran falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab “Hikmah Ilahiyyah” dalam pasal “Tentang adanya susunan akal, jiwa langit, dan benda angkasa.









BAB III
KESIMPULAN

Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaiti Falsafah Tasyri dan Falsyafah Syariah. Falsafah tasyri adalah Fasafah yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan hakikat dan tujuan hukum islam. Falsafat syari’ah adalah Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya.
Dengan demikian Filsafat Hukum Islam merupakan anak sulung Filsafat Islam, baru kemudian disusul dengan Ilmu Kalam, diikuti oleh lahirnya pemikiran kefilsafatan yang berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan hasil-hasil pemikiran para filosuf Yunani, dan Tasawuf Islam yang berbaur dengan berbagai macam unsur: India, Parsi, Cina dan Yunani.
Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan.














DAFTAR PUSTAKA


A.    Kelompok Sumber Buku
Mohammad Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum, (yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, januari 1997)
Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Sukses grafia ,agustus 2006)
Fuad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet.pertama, (Pustaka Rizki Putra, Semarang:2001)
Ismail M. Syah, Filsafat Hukum Islam, cet.ke-2, (Bumi Aksara, Jakarta:1992)
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet.pertama, (Logos Wacana Ilmu, Ciputat:1997), hlm.17-18
B.     Kelompok Sumber Internet
di akses tanggal 5 Oktober 2011, pukul 21:12


     [1] Mohammad Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum, (yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, januari 1997), hlm. 35
     [2]. Ibid, hlm. 45
     [3]. Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Sukses grafia ,agustus 2006), hlm. 3
     [4]. Ibid., hlm. 4
     [5]. Ibid., hlm. 6
     [6] Fuad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet.pertama, (Pustaka Rizki Putra, Semarang:2001), hlm.25
     [7]Ismail M. Syah, Filsafat Hukum Islam, cet.ke-2, (Bumi Aksara, Jakarta:1992), hlm.18-19
     [9] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet.pertama, (Logos Wacana Ilmu, Ciputat:1997), hlm.17-18
     [10] ibid, hlm.18-19
     [11] ibid, hlm.20-21