Namun Dr. H.
Fathurrahman Djamil, MA. Dalam bukunya mengatakan bahwa sumber hukum islam
hanya berlaku pada al-Qur’an dan hadits, karena hanya dari keduanyalah digali
norma-norma hukum. sedangkan yang lainnya tidak termasuk kategori sumber hukum
akan tetapi merupakan alat dalam menggali hukum-hukum dari al-Qur’an dan
Sunnah.
1.
al- Qur’an Sebagai Sumber Hukum
hukum syara’ adalah
kehendak Allah, karena Dia-lah yang mengatur, membaurkan, dan mensistemasiskan
hukum tersebur bagi manusia. Hukum Tuhan disampaikan kepada hambanya, kitab
kumpulan hukum Allah disebut dengan Al-Qur’an. Al-Quran merupakan sumber utama,
pertamadan sumber pokok bagi ummat muslim. Al-Qur’an juga sebagai dalil-dalil
pkok hukum islam.
Seluruh ayat al-Qur’an
dari segi lafads dan maknanya adalah qath’iyah-wurud,
merupak semua lafads al-Qur;an dating dari Allah tanpa diragukan lagi
keasliannya. Dengan demikian semua lafadz dan makna al-Qur;an adlah mutawatir.
Sedangkan dari segi dalalah hukumnya
sebagian qath’iyal-dalalah dan
sebagian lagi zhanniy al-dalalah.
Qath’iyal-dalalah berarti ketentuan hukumnya tidak membutuhkan penafsiran
lagi. Sedangkan ketentuan hukum yang zhanniy
al-dalalah adalah mengandung dan menampung berbagai penafsiran.
a.
Penunjukan al-quran tentang hukum
Al-qur’an dari segi
penjelasanya ada dua model yaitu : Muhkam (jelas) dan Mutasyabih (samar) (Qs.
3:7). Ayat-ayat Muhkam adalah ayat- ayat yang jelas maksudnya dan tidak
mengandung keraguan, serta tidak mengandung pemahaman lain selain pemahamna
yang terdapat dalam lafadz ayat Al- qur’an tersebut. Sedangkan ayat-ayat
Matsyabih adalah ayat yang tidak jelas artinya, sehingga terbuka kemungkinan
adanya berbagai penafsiran dan pemahaman.
Ayat Al-qur’an yang
muhkam penjelasanya sempurna, penunjukannya jelas (qath’iy al-dalalah). Tidak bias difahami dengan pemahaman lain dan
tidak dapat ditafsirkan dengan pendapat yang berbeda-beda . hukum tersebut
bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, dan ditempat manapun.
Ayat mhukam ini berlaku
dlam bidang ibadaj, ‘aqidah dan norma-norma baik buruk, seperti tentang
ke-Esaan Allah, Sholat, dan berbakti berbakti kepada orang tua.
Ayat al-Qur’an yang
coraknya Mutasyabih bermodel Ibaratt
dan Isyarat, serta diungkapkan dalam bentuk garis besar, penjelasan hukumnya
bersifat Zhanny. Dengan kata lain, ayat-ayat tersebut penunjukan penjelasannya
tidak jelas dan tidak meyakinkan, sehinnga dapat dipahami dengan berbagai macam
pemahaman, serta dapat ditafsirkan dari berbagai macam segi. Akhirnya munculah
berbagai versi hukum yang berbeda-beda.
b.
Ibarat al-Qur’an dalam menetapkan hukum
Ibarat al-Qur’an dalam
menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa
model,
1.
Suruhan. Al-Qur’an menetapakn hukum berupa suruhan untuk melaksanakan sesuatu
atau suruhan untuk meningglakan sesuatu. Suruhan berarti keharusan untuk
mengerjakan atau meninggalkan. Seperti perintah sholat, Allah SWT Berfirman :
Artinya : dirikanlah
sholat, tunaikanlah zakat
Contohnya adalah
larangan membunuh anak dan menikahi muhrim. Allah SWT berfirman :
Artinya : janganlah
kamu membunuh diri yang diharamkan Allah, kecuali dengan haq (al an’am : 151)
Diharamkan atas kamu
ibumu, anak perempunmu, saudara-saudaramu….(an-nisa : 23)
2.
Janji baik dan buruk, pahala dan dosa
serta pujian dan celaan. Contonya firman Allah:
Artinya:
siapa yang taat Allah dan Rasul ia akan dimasukkan-Nya dalam surga. (An-Nisa’
13).
Sedangkan
contoh tentang larangannya Allah berfirman:
Artinya:
pencuri laki-laki dan pencuri perenpuan, potonglah tangan keduanya. (Al-maidah:38)
3.
Ibarat, istri yang ditala’ harus
menjalankan masa Iddah merupakan misak penetapkan hukum secara ibarat.
Allah
berfirman :
Artinya:
istri yang ditalak, menunggu dalam masa Quru’. (Al-baqara:228)
Secara
garis besar hukum dalam Al-qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Hukum
aqidah, yaitu hukum yang mengatur rohaniah manusia dengan Allah dalam msalah
keimanan dan ketakwaan .
2. Hukum
akhlak, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan manusia dan mahluk lainnya,
bermasyarakat dan bernegara. Hal ini tercakup dalam hukum khuluqiyah adalah
hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang merupakan tonggak menuju akhlak
sesama makhluk.
3. Hukum
syari’ah, yaitu hukum yang mengatur hubungan hidup lahiriyah antara manusia
dengan makhluk lain, dengan Tuhan-nya selain yang bersifat rohani dan dengan
alam sekitarnya.
Kedudukan
Sunnah
Menurut jumhur ulama as-sunnah menempatkan urutan kedua
setelah Al-qur’an. Diantaranya para ulama yang berpendapat demikian adalah
al-syatibi dan al-Qasimi yang memberikan argumentasi sebagai berikut:
1.
Bahwa al-Qur’an bersifat Qath’I
al-wurut, sedangkan As-sunnah bersifat Zhanny al-wurud. Karena itu yang Qath’I
harus didahulukan dari yang dzanny.
2.
Sunnah berfungsi sebagai penjabar dari
Al- qur’an. Hal ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan lebih
rendah dari yang dijelaskan. Jika tidak ada yang dijelaskan maka tidak perlu
ada penjelasan, sebaliknya jika tidak ada penjelasan maka yang dijelaskan tidak
mesti hilang dengan sendirinya.
3.
Ada beberapa hadis yang menjelaskan
urutan dan kedudukan sunnah setelah Al-qur’an diantaranya :
Yang
artinya: Rasullah bersabda kepada Muadz
bin jabal: bagaimana anda memutuskan suatu hukum apabila anda dihadapkan pada
suatu perkara? Kemudian Muadz berkata: saya akan berpedoman kepada kitab Allah
atau Al-qur’an. Rasulullah bersabda: bagaimana kalau anda tidak menemukan
didalam Al-qur;an. Muadz berkata: saya akan berpedoman kepada Sunnah Rasul.
Nabi bersabda: bagaimana anda kalau tidak menemukannya ? Muadz berkata: saya
akan berijtihad dengan akal pikiran saya.
Diriwayatkan
dari Mas’ud : barang siapa yang dihadapkan kepadanya suatu perkara hukum, maka
hendaknya dia memutuskan hukum itu dengan berdasarkan dengan Al-qur’an. Kalau
perkara itu tidak didapatkan dalam Al-qur’an, tetapi ada didalam hadis rasul,
maka hendaknya memutuskan hukum berdasarkan hadis nabi itu.
Berbeda
dengan pendapat diatas, ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa as-sunnah
mempunyai kedudukan yang lebih penting dari al-qur’an. Argumentasi yang
diginakan adalah sebagai berikut:
a. Bahwa
al-qur’an yang bersifat mujmal (umum) itu memerlukan penjelasan dari as-sunnah,
sehingga “kata akhir” berada pada as-sunnah bukan pada Al-qur’an. Misalnya,
ayat Al-qur’an mengenai hukuman bagi pencuri menentukan hukuman potong tangan
bagi setiap pencuri, siapapun dan dalam kondisi bagaimanapun. Tetapi As-sunnah
menjabarkan lebih lanjut, bahwa pencuri yang harus dipotong tangannya itu
apabila ia mencuri milik orang lain dengan jumlah tertentu (nisab). Kurang dari
itu tidak dikenakan hukuman potong tangan.
b. Ada
beberapa dalam ayat Al-qur’an yang mempunyai makna ganda (muhtamil). Dalam hal
ini As-sunnah memberikan alternatifnya.
Tentu
kelompok pertama tidak menerima pendapat yang kedua karena mereka mencoba
memberikan jawaban terhadap argumentasi yang dikemukakan kelompok yang kedua.
Menurut mereka penentuan sunnah terhadap al qur’an tidak harus diartikan bahwa
sunnah lebih dulu urutannya daripada al qur’an. Penjabaran sunnah terhadap al
qur’an harus diartikan bahwa apa yang diungkapkan dalam sunnah tidak lain
kecuali mengungkapkan apa yang dikehendaki al qur’an. Jadi menurut mereka
kedudukan sunnah tidak lebih dari penjelas al qur’an.
Fungsi
al Sunnah terhadap al Qur’an
Ulama’
ushul mengelompokkan fungsi sunnah menjadi tiga kelompok:
1. Al
Sunnah yang berfungsi memperkuat apa yang ditetapkan oleh al Qur’an, tidak
menjelaskan apa lagi menambah ketetapan al qur’an. Contoh hadits :
Islam
didirikan atas lima perkara: Syahadat (kesaksian) bahwa tida tuhan selain Allah
dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah rosul Allah, mendirikan sholat, membayar
zakat, puasa di bulan ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu
melakukan.
2. Al
sunnah untuk memperjelas atau merinci yang telah digariskan dalam al qur’an.
Ini merupakan fungsi yang paling dominan, misalnya hadits-hadits yang
berhubungan dengan tata cara sholat, zakat, puasa dan haji. Praktek Rosulullah
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ayat-ayat qu’an yang bersifat umum.
3. Al
sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ada dalam al qur’an. Misalnya hadits
yang melarang seorang suami memasu isterinya dengan bibi dari pihak ibu atau
pihak bapak si isteri. Ketentuan ini tidak ada dalam al qur’an. Al qur’an hanya
melarang suami memadu isterinya dengan saudara kandung isteri. Contoh surat an
Nisa’ ayat 23.
Dari tiga fungsi tersebut bahwa fungsi
pertama dan kedua dapat diterima oleh kalangan para ulama. Perbedaan hanya
mengenai fungsi ketiga yaitu menetapkan hukum yang belum diatur dalam
al-qur’an. Dalam hal ini persoalan pokok yang dibicarakan mereka adalah apakah
sunnah dapat menetapkan hukum secara mandiri tanpa tergantung al-qur’an.
Mengenai keterangan diatas syafi’I
mencoba membagi pendapat para ulama kepada empat kelompok. Pendapat tersebut
dirampung menjadi dua pendapat. Yaitu kelompok ulama yang menerima fungsi
menetapkan hukum yang mandiri dan kelompok lain yang tidak menerimanya.
Kelompok pertama menyatakan bahwa
ketetapan itu berdiri sendiri, tidak terdpat didalam al-qur’an. Sedang kelompok
kedua berpendapat bahwa ketetapan itu tidak bias dilepaskan dari konteks ayat
al-qur’an. Dengan demikian perbedaan pendapat itu hanya berkisar pada redaksi
saja. Ada beberapa teori mengapa as-sunnah menjabarkan apa yang ada didalam
al-qur’an:
a. Al-qur’an
menunjukkan wajibnya beramal dengan As-sunnah. Segsls kergiatan yang
berdasarkan As-sunnah berarti mengikuti al-qur’an. Teori ini berlandaskan atas
atsar berikut:
Diriwayatkan
bahwa thawus melakukan shalat dua raka’at setelah shalat asar. Maka ibnu Abbas
berkata kepadanya : tinggalkanlah shalat dua raka’at setelah asar. Maka thawus
berkata sesungguhnya pelarangan atasnya adalah supaya tidak dijadikan sunnah.
Ibnu Abbas kemudian berkata sesungguhnya Rasulullah telah melarang shalat
setelah shalat asar. Aku tidak tau apakah orang yang melakukan shalat setelah
shalat asar itu diazab atau diberi pahala. Karena Allah berfirman tidak patut
bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu ketetapan aka nada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
b. Al-qur’an
bersifat global dan hadis merincinya. Perincian itu terutama berhubungan dengan
cara-cara melakukan ibadah, seperti shalat dan haji.
c. Bahwa
dalam Al-qur’an terkandung tujuan umu yang disyari’atkannaya hukum dan
al-sunnah menetapkan hukumberdasarkan prinsip-prinsip umum yang ada dalam
Al-qur’an.
d. Alqur’an
terdapat dua hkum yang berlawanan dan ada pula diantara kedua hukum itu, maka
sunnah dating menujukkan salah satu hukum itu atau menetapkan hukum lain yang
sesuai kewcendrungan hukum yang ditetapkan al-qur’an.
Pengelompokan kegiatan
Rasul
Sebagi mana telah
dijelaskan diatas, al qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau
bertugas menyampaikan wahyu itu kepada ummat manusia berikut penjelasan dan
penjabarannya. Untuk tugas itulah beliau disebut Rasulullah, namun demikian,
Muhammad dicatat dalam sejarah sebagai kepala pemrintahan dan sekaligus sebagai
Qadhi (hakim). Jadi, pada diri Muhammad terdapat multi fungsi. Beliau sebagi
pemegang kekuasaan legelatif, ekskutif, dan yudikatif. Dapatkan fungsi-fungsi
itu dipisahakan satu sama lain? Kalau dapat, apakah pengaruh dan akibatnya
terhadap umat islam?
Untuk menjawab
persoalan diatas menarik untuk dikaji, pernyataan al-Qarafi dan syeh Muhammad syaltut
tentang Tasharrufa al-rasul (tindakan
dan kegiatan Rasul). Menurut mereka, tindakan atau kegiatan Muhammad dapat
dibedakan menjadi beberapa kategori : Muhammad sebagi Rasul, Muhammad sebagai
Rasul, Muhammad sebagi kepala Negara (imam), Muhammad sebagai khodi dan
Muhammad sebagai manusia biasa. Pengelompokan ini merinci kegiatan Rasulullah
dalam mewujud Sunnah-nya, bukan dalam wujud al quran yang diwahyukan kepadanya.
Dalam hal ini rasul
berfungsi untuk menyampaikan pesan Allah dengan cara menjelaskan apa yang
terkandung dalam Al-qur’an. Imam dalam hal ini berfungsi sebagai kepala Negara
atau pemerintahan yang berhubungan dengan kebijaksanaan umum. Muhammad sebagai
hakim untuk menyelesaikan segala perkara yang diajukan kepadanya. Muhammad
sebagai manusia biasa yaitu sebagai ghair
tasyri’iyyah yang artinya segala sesuatu yang dilakukan Muhammad adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan dan minum.
Dan demikian,
pengelompokkan yang begitu baik yang perlu mendapatkan perhatian. Dalam hal ini
apa yang dikemukakan pemikir islam terdahulu diharapkan memudahkan kita dalm
menghadapi persoalan kontemporer.