PENDAHULUAN
Filsafat hukum
lebih mengulas tentang tujuan atau akhir hukum dan keadilan dianggap sebagai
tujuan tertinggi. Karena keadilan mutlak yang harus dituntut untuk usaha-usaha filsafat hukum dahulu
maupun sekarang. [1]Hukum islam atau syari’ah dalam teori klasik adalah perintahTuhan
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Hukum islam merupakan sistem
ketuhanan yang mendahului Negara islam dan tidak didahului olehnya, mengontrol
masyarakt dan tidak dikontrol olehya[2].
Perlu diingat
bahwa filsafat hukum islam (syari’ah) adalah pola yang lengkap dan yang
mencakup semua perintah sosial yang jangkauannya tidak hanya mencakup dunia
saja, tetapi akhirat pun juga iya. Syari’ah membahas semua aspek kehidupan dan
memberikan arah bagi kehidupan. Jadi, ini merupakan kesatuan organik yang
masing-masing bagiannya tidak dapat dipisahkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
FILSAFAT HUKUM ISLAM
Filsafat
hukum islam terkandung dalam arti hikmah, falsafah asrar bahkan illat hukum.
Walaupun tidak sempurna tapi semua itu saling terkait, apalagi dihubungkan
dengan tinjauan kajian-kajian filasafat saat ini[3].
Pengertian hukum islam sendiri dalam khasanah literatur intelektual muslim,
terutama yang dipahami masyarakat muslim tidak jarang memiliki perbedaan antara
pengertian syari’ah dan fiqh[4].
Untuk
membantu pemahaman beberapa aspek yang tercakup dalam pengertian hukum, dapat
dibedakan dalam lima unsure dan karakternya[5]
:
1.
Peraturan
tentang tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.
Peraturan itu
diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.
Peraturan yang
bersifat memaksa.
4.
Sangsi terhadap
pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
5.
Ada proses dan
lembaga yang melakukan bagaimana hukum bekerja.
Tujuan dari
hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim (maha
pengasih dan maha penyayang) Allah kepada semua makhluk-Nya. Rahmatan lil
la-lamin adalah inti syari’ah atau hukum islam. Dengan adanya syari’ah tersebut
dapat ditegakan perdamaiaan dimuka bumi dengan pengaturan masyarakat yang
memberikan keadilan kepada semua orang. keadilan sangat mulia dimata kholik,
dan sifat adil merupakan jalan takwa setelah iman kepada Allah.
Untuk biasa
menegakan itu semua, hukum islam harus siap menghadapi kejadian baru yang
timbul karena perkembangan masyarakat dan perubahan suasana. Untuk itu
pengkajian ilmu filsafat hukum islam mutlak diperlukan. Dengan tegak dan
berhasilnya filsafat hukum islam, dapat dibuktikan bahwa hukum islam mampu
memberikan jawaban terhadap tangtangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang
zaman bagi semesta alam. Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum
islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaiti Falsafah Tasyri
dan Falsyafah Syariah.
-
Falsafah
tasyri: Fasafah yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan
memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan hakikat dan tujuan hukum
islam.[6]
Filsafat tasyri terbagi kepada :
a.
Da’aim al-
Ahkam (Dasar-Dasar Hukum Islam)
b.
Mabadi al-Ahkam
(Prinsip-Prinsip Hukum Islam)
c.
Ushul al-Ahkam
(Pokok-Pokok Hukum Islam) atau mashadir al-ahkam (Sumber-Sumber Hukum Islam)
d.
Maqasid
al-Ahkam (Tujuan Tujuan Hukum Islam)
e.
Qowa’id al-Ahkam
(Kaidah-Kaidah Hukum Islam)
-
Falsafat
syari’ah: Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti
Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan
hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat Syari’ah
adalah:
a.
Asrar al-Ahkam
(Rahasia-Rahasia Hukum Islam)
b.
Khasha al-
Ahkam (Ciri-Ciri Khas Hukum Islam)
c.
Mahasin al-Ahkam
atau Majaya al-Ahkam (Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam)
d.
Thawabi
al-Ahkam (Karakteristik Hukum Islam)
B.
FILSAFAT HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH
Dalam Al-Qur’an maupun dalam as-sunnah, tidak
terdapat kata filsafat, tidak berarti bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah tidak
mengenal apa yang dimaksud dengan falsafah itu. Dalam kedua sumber itu dikenal
kata lain yang sama maksudnya dengan itu yaitu kata hikmah.[7]
H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. dalam bukunya Pokok-Pokok
Persoalan Filsafat Hukum Islam, menjelaskan bahwa, pemikiran
terhadap Hukum Islam telah lahir sejak awal sejarah umat Islam, disebabkan oleh
adanya dorongan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul agar manusia menggunakan pikirannya
dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih-lebih dalam persoalan yang
fundamental, menyangkut akidah atau keyakinan agama. Misalnya Q.S. Al-Isra (17)
: 36 : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Demikian pula Q.S. An-Nisa (4) : 82 mengajarkan
: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau
kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Ayat Al-Qur’an tersebut dengan jelas
memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah
kebenaran mutlak Al-Qur’an dapat diyakinkan. Selanjutnya Azhar Basyir menjelaskan bahwa, ayat-ayat
Al-Qur’an yang langsung menyangkut ketentuan hukum banyak yang diakhiri dengan
menggugah pikiran untuk memahaminya. Misalnya Q.S. Al-Baqarah (2) : 179 : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Ayat ini menyebutkan hikmah adanya ancaman
pidana qishash (pidana yang sama dengan kejahatan
yang dilakukan, di sini adalah pidana mati dalam pembunuhan sengaja), yaitu
menjamin kelangsungan hidup manusia dengan sengaja, orang tidak merasa ringan
melakukan pembunuhan terhadap orang lain akan dijatuhi hukuman pidana juga,
karena merasa takut dijatuhi hukuman pidana mati juga.
Hal ini berarti suatu jaminan bagi kelangsungan
hidup manusia. Hikmah demikian itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang
mau memikirkannya. Menyebutkan ketentuan pidana qishash disertai dengan seruan “hai orang-orang yang berakal” itu tidak dapat
diartikan lain kecuali agar benar-benar orang dapat menyadari ketepatan dan
kebenaran ancaman pidana qishash tersebut, setelah memikirkannya dengan
mendalam dengan mendalam. Pemikiran terhadap keketntuan-ketentuan Hukum Pidana
Islam akan melahirkan Filsafat Hukum Pidana Islam.
Al-Qur’an Surat Ar-Rum (30) : 21 mengajarkan :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.”
Dalam ayat tersebut ditegaskan adanya hikmah
disyari’atkannya perkawinan yang antara lain untuk mewujudkan ketentraman hidup
dan menjalin rasa saling mencintai dan menyayangi antara suami isteri, kemudian
diakhiri dengan penegasan bahwa hanya kaum yang berfikirlah yang akan menangkap
makna yang terkandung dalam syari’at perkawinan itu. Pemikiran yang mendalam
terhadap syari`at perkawinan dalam Islam dapat menimbulkan Filsafat Hukum
Perkawinan Islam yang merupakan bagian dari Filsafat Sosial Islam.
Hadits Riwayat Al-Baghawi berasal dari Mu’adz bin Jabal menceritakan bahwa pada waktu
Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman, terlebih dulu beliau bertanya kepada
Mu’adz: “Bagaimana kamu akan memutus perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’adz
menjawab: “Saya akan memutus dengan dasar Kitab Allah (Al-Qur’an)”. Rasul
bertanya pula: “Jika dalam Kitab Allah tidak kau jumpai ketentuannya
bagaimana?” Mu’adz menjawab:”Saya akan berijtihad dengan akalku, dan saya tidak
akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan apapun”. Mendengar jawaban Mu’adz
itu Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata: “Alhamdulillah (segala puji
bagi Allah) yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul Allah sesuai
dengan yang melegakan hati Rasul Allah.
Dalam hadits tersebut dinyatakan adanya
sumber-sumber utuma Hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Mengenai
hal-hal yang tidak disebutkan ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul,
akal memperoleh kesempatan untuk menemukan ketentuan-ketentuan hukumnya dengan
jalan Ijtihad. Berijtihad dengan menggunakan akal inilah apada hakikatnya
merupakan pemikiran kefilsafatan Hukum Islam. Meskipun belum diperoleh data
ijtihad Mu’adz dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya di Yaman, namun
izin Rasulullah kepadanya untuk berijtihad itu telah merupakan saat-saat awal
kelahiran Filsafat Hukum Islam pada masa Rasulullah masih hidup. Jika pada masa
Rasulullah ijtihad belum benar-benar nampak dengan jelas, maka hal itu dapt
dimengerti, oleh karena pada masa itu wahyu masih belum selesai dan kedudukan
Rasulullah sebagai Rasul yang memperoleh kewenangan menentukan hukum-hukum
masih merupakan tempat kembalinya kaum muslimin untuk memperoleh ketentuan
hukum mengenai hal-hal yang tengah terjadi dalam kehidupan mereka.
Musthafa Abdurraziq dalam
kitabnya Tahmid
Li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah memandang penggunaan ijtihad
dalam hukum Islam itu sebagai manifestasi pemikiran kefilsafatan dalam Islam.
Dan oleh karena ijtihad dalam hukum Islam itu telah dilakukan segera setelah
Nabi wafat, lebih-lebih pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, yang
sumbernya adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul, maka Filsafat Hukum Islam merupakan
yang pertama kali muncul dalam sejarah alam fikiran Islam, dan merupakan
pemikiran yang orisinil Islami.[8]
Dengan demikian Filsafat Hukum Islam merupakan
anak sulung Filsafat Islam, baru kemudian disusul dengan Ilmu Kalam, diikuti
oleh lahirnya pemikiran kefilsafatan yang berusaha mempertemukan ajaran Islam
dengan hasil-hasil pemikiran para filosuf Yunani, dan Tasawuf Islam yang berbaur
dengan berbagai macam unsur: India, Parsi, Cina dan Yunani.
Lebih lanjut Azhar Basyir mengatakan bahwa satu
hal lagi yang perlu disebutkan ialah meskipun dalam hadits Mu’adz tentang
sumber-sumber Hukum Islam dinyatakan bahwa ijtihad dilakukan dalam hal-hal yang
tidak tercantum Al-Qur’an atau Sunah Rasul, namun dalam sejarahnya, para
sahabat Nabi melakukan ijtihad juga dalam hal-hal yang nyata-nyata disebutkan
ketentuan hukumnya dalam nash. Ijtihad dalam hal yang disebutkan dalam Al-Qur’an
atau Sunah Rasul itu dapat menyangkut pemahamannya, dapat menyangkut
penerapannya dan sebagainya.
C.
PERTUMBUHAN
FILSAFAT HUKUM ISLAM
Sumber utama
hukum islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Terhadap segala permasalahan yang
tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan
berjihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum. Dalil
yang menjadi landasan berjihad adalah hadist Nabi Saw. Ketika mengutus Mu’adz
ibn Jabal sebagai berikut:
عَنْ انََسٍ مِنْ اَهْلِ حِمْصِ مِنْ أَ صْحَابِ مُعَاذَ بْنِ جَبَلٍ
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لَمَّا اَرَادَ اَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ
قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ : اَقْضِي بِكِتَابِ
اللهِ. قَالَ : فَاِلَم ْتجَِدْ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِيْ
كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدْ رَأْيِيْ وَلاَ الُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلِ اللِه
صَدْرَهُ وَ قَالَ : اْلحَمْدِللهِ اْلذِي وَفْقَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى
رَسُوْلِ اللهِ.
Artinya : “Diriwayatkan dari
sekelompok penduduk Homs, shahabat Mu’az Ibn Jabal, bahwa Rasulullah Saw.
ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, “apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya?” Mu’adz
menjawab, “saya akan memutuskannya berdasarkan al-quran.” Nabi menjawab lagi, “jika
kasus tidak anda temukan dalam al-quran” muadaz menjawab, “saya akan
memutuskannya berdasarkan sunnah Rasulullah”. Lebih lanjut Nabi bertanya, “jika
kasus tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab , “aku
akan berijtihad seksama.” Kemudian Rasulullh menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan
tangannya, seraya berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan
petunjuk kepada utusan Rasulllah kepda jalan yang diridhai-Nya.” ( HR.Abu Dawud
).[9]
Jadi,
berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang
padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh Rasulullah. Bahkan
lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau
berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan. Allah
berfirman:
وَلَكُمْ فِي
الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Artinya : “Dan
dalam qishsah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertaqwa.” ( QS. Al- Baqarah : 179 )
Ayat diatas
menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap makna yang
terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran termasuk yang
dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syari’ah atau hukum islam melahirkan
filsafat hukum islam.
Izin Rasulullah
kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal lahirnya filsafat hukum
islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu.
Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera dibetulkan dengan datangnya
wahyu. Akan tetapi, ketika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal
dengan pemikiran falsafinya berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun
tidak ada nashnya.
Permasalahan
yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa yang memegang tapuk
kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya itu
memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria apa yang diambil untuk
menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya berupa jasa, yaitu jasa kaum
Anshor yang menerima Muhammad beserta rombongannya dan menyelamatkan agama dari
tekanan kaum kafir di mekkah, ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum
Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga
dan harta kekeyaan demi menyelamatkan agama Islam.
Pemikiran yang
mendalam tentang kreteria pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi. Sedangkan
pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada
khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum potong tangan
bagi pencuri, zakat bagi muallaf dan lain-lain yang dilakukan umar berdasarkan
kesesuaian zaman dan demi menegakan keadilan yang menjadi asas hukum Islam,
merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan akal manusia.
Hukum
diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahtraan masyarakat, sementara
masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu pengertian dan pelaksanaan
hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip hukum
tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan keperluan hidup.
Singkatnya penerapan hukum harus dapat menegakan kemaslahatan dan keadilan yang
menjadi tujuan dari hukum Islam.[10]
D.
PERKEMBANGAN
FILSAFAT HUKU ISLAM
Kegiatan
penelitian terhadap penelutian hukum (Maqasid al-Sya’riah) telah dilakukan oleh
para ahli Ushul fiqh terdahulu. al-Juwaini, dapat dikatakan ahli ushul fiqh pertama
yang menekankan pentingnya memahami maqasid sya’riah dalam menetapkan hukum. Ia
secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum
dalam islam, sebelum ia dapat memahami bener tujuan Allah menetapkan
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Kemudian ia mengelaborasi lebih
lanjut Maqasid as-Sya’riah itu dalam kaitannya dengan pembahasan illat pada
masalah qias. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl dalam
dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok Daruriyyat, al-Hajat
al-Amanat, Makramat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.
Pada dasarnya al-juwaini mengelompokkan ashl atau tujuan hukum menjadi tiga
kelompok, yaitu daruriyyat dan makramat. Yang terakhir, dalam istilah lain
disebut Tahsiniyyat.
Kerangka
berpikir al-juwaini di atas di kembangkan oleh muridnya al-ghazali. Dalam
kitabnya Syifa al-Ghali, al-Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya
dengan pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat dalam qiyas, sementara dalam
kitabnya yang lain ia memebicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Mashlahat,
baginya adalah memelihara maksud al-Syari, pembuat hukum. Kemudian ia memerinci
Maslhahat itu menjadi lima, yaitu: Memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan
harta. Kelima aspek mashlahat ini menurut al-Ghazali, berada pada peringatan
yang berbeda, bila ditinjau dari segi tujuannya, yaitu peringkat daruriyya,
hajiat dan tahsiniyyat. Dari sini teori makhasid al-Syariah susah kelihatan bentuknya.
Ahli fiqh yang
berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama Maqasid al- Syariah, adalah
Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qowaid
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat
yang diejawantahkan dalam bentuk Daru al-Mafasid wa jalwu al-Manafi (menghindari
mafsadat dan menarikmanfaat). Baginya Mashlahat dunyawiyyat tidak dapat
dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: daruriyyat, hijayyat, dan tatimmat atau
takmillat.
Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun
diakhirat. dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah
mencoba mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid
al-Syariah. Dalam pandangan ahli fiqh lain dijelaskan tentang pembahasan
mashlahat yang menjadi bagian sangat penting karena tujuan Allah mengsyariatkan
hukumnya adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karena itu taklif dalam
bidang hukum harus bermuara pada tujuan-tujuan hukum tersebut. Sebagaimana
ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat,
yaitu: Daruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat
baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan
dan Harta.[11]
E.
TOKOH FILSAFAT
Ibnu
Sina merupakan dokter Islam yang terulung. Sumbangannya
dalam bidang pengobatan bukan saja diakui oleh dunia Islam tetapi juga oleh
para sarjana Barat. Nama asli Ibnu Sina ialah Abu Ali al-Hussian Ibnu Abdullah.
Tetapi di Barat, beliau lebih dikenali sebagai Avicenna.
Ibnu Sina
dilahirkan pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masihi. Pelajaran
peringkat awalnya bermula di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastera. Selain
itu, beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logika,
matematik, sains, fikih, dan pengobatan. Dia seorang filosof dan ahli dalam
bidang kedokteran. Ibnu Sina mula menjadi terkenal selepas berjaya menyembuhkan
penyakit Putera Nub Ibn Nas al-Samani yang gagal
diobati oleh dokter yang lain.
Kehebatan
dan kepakaran dalam bidang pengobatan tiada tolok bandingnya sehingga beliau
diberikan gelar al-Syeikh al-Rais. Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara
Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib telah diterbitkan di Rom pada tahun
1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts
of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah
dicetak ke dalam 15 bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan
sebagai bahan rujukan asas di universitas-universitas Itali dan Perancis. Di
abad ke-19, bukunya masih dicetak ulang dan digunakan oleh para mahasiswa
kedokteran.
Ibnu Sina juga
telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The Heart
yang mengandungi sajak-sajak pengobatan. Dalam
buku itu, beliau telah menceritakan dan
menghuraikan 760 jenis penyakit bersama
dengan cara mengobatinya. Hasil tulisan
Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada
ilmu pengobatan saja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti
metafisik, musik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya
dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang
serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap
zenith yaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang digelutinya. Di
samping menjadi zenith dalam bidang pengobatan, Ibnu Sina juga menduduki
ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logika sehingga digelar guru ketiga.
Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk
kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastra kreatif.
Perkara yang
lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli
falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah
yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran
falsafah Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh
aliran falsafah al-Farabi yang telah
menghidupkan pemikiran Aristoteles. Oleh sebab itu, pandangan pengobatan
Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori pengobatan Yunani khususnya
Hippocrates. Pengobatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan
humours iaitu darah, lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu
hitam (black bile).
Menurut
teori ini, kesehatan seseorang mempunyai
hubungan dengan campuran keempat-empat unsur tersebut.
Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar yang seimbang
dan apabila keseimbangan ini terganggu maka
seseorang akan mendapat penyakit.
Setiap
individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan
yang berlainan. Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah
meletakkan satu landasan kokoh kepada dunia pengobatan
untuk mengenal pasti puncak penyakit yang
menjangkiti manusia. Ibnu Sina telah menapis
teori-teori kosmogoni Yunani ini dan mengislamkannya. Ibnu
Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur iaitu
tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembab,
sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang
terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahwa
terdapat pertahanan alami dalam tubuh manusia untuk
melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan
unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang
kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesehatan dan proses penyembuhan.
Sebenarnya,
Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku AnNajah, Ibnu
Sina telah menyatakan bahwa pencipta yang dinamakan sebagai “Wajib al-Wujud”
ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak terbagi. Menurut Ibnu Sina, segala
maujud (mumkin al-wujud) bersumber dari “Wajib al-Wujud” yang tidak memiliki
permulaan. Pemikiran falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu
Sina dalam bab “Hikmah Ilahiyyah” dalam pasal “Tentang adanya susunan
akal, jiwa langit, dan benda angkasa.
BAB
III
KESIMPULAN
Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam,
membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaiti Falsafah Tasyri dan
Falsyafah Syariah. Falsafah tasyri adalah Fasafah yang memancarkan hukum islam
atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan
hakikat dan tujuan hukum islam. Falsafat syari’ah adalah Filsafat yang di
ungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah,
uqubah dan sebagainya.
Dengan demikian Filsafat Hukum Islam merupakan anak sulung Filsafat
Islam, baru kemudian disusul dengan Ilmu Kalam, diikuti oleh lahirnya pemikiran
kefilsafatan yang berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan hasil-hasil
pemikiran para filosuf Yunani, dan Tasawuf Islam yang berbaur dengan berbagai
macam unsur: India, Parsi, Cina dan Yunani.
Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum
Islam, yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh
Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal
dan pikiran atau berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai
persoalan.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Kelompok Sumber
Buku
Mohammad
Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum,
(yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, januari 1997)
Miftahul
Huda, Filsafat Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam,
(Yogyakarta: Sukses grafia ,agustus 2006)
Fuad
Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet.pertama, (Pustaka Rizki
Putra, Semarang:2001)
Ismail
M. Syah, Filsafat Hukum Islam, cet.ke-2, (Bumi Aksara, Jakarta:1992)
Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet.pertama, (Logos Wacana Ilmu,
Ciputat:1997), hlm.17-18
B.
Kelompok Sumber
Internet
di akses tanggal 5 Oktober 2011, pukul 21:12