PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran
para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam
yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus
terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah
kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah
syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum
muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.
Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak
dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta
memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok
ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal dan
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini
dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah
pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan
Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap
benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan
pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini
agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam
pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah
munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah
Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh
manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil
dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan
pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan
ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak
dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan
inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri
dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa
stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian
hari.
Golongan
kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan
Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah
II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki
banyak versi.
B.
Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Beberapa
versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan
hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai
pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri
masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di
lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil
menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi
lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr
bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya
pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan
ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi
lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.
Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka member status
orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
C.
Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada
beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al –
‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya
kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari
makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah
tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan
merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah
tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk
terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan
nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud
dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya
(al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan
melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah
syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak
boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan
Wa’idiyyah.
Kaum
mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran
mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini
telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang
ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama
dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang
mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran
Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah
(Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan
asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang
yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya
Islam maupun tidak.
BAB
III
KESIMPULAN
Secara
harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran
Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik
Imam
Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak
pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa
besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian
dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran
Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan
keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut
mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833
M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai
mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan
terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian
membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
(935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan
al-Asy’ariah.
Di
Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur
Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi
al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak
seliberal Mu’tazilah.
DAFTAR
PUSTAKA
Rojak
Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
Jauhari,
Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0